Nama Asli : Zhuge Liang
Nama Lain : Zhuge Kongming
Julukan : Naga Tidur
Istri : Huang Yue Ying
Ayah : Zhuge Gui
Ibu : (hanya diketahui bermarga Zhang)
Paman :Zhuge Xuan
Saudara :Zhuge Jin (abang), Zhuge Jun (adik)
Sepupu :Zhuge Dan (adik)
Anak :Zhuge Zhan
Anak Angkat : Zhuge Qiao
Cucu : Zhuge Shang
Cucu dr anak angkat : Zhuge Pan
Kemenakan : Zhuge Ke
Mengabdi pada : Liu Bei, Liu Chan
Lahir : 181
Meninggal : 234
Zhuge Liang (Hanzi: 诸葛亮)(181–234) adalah seorang ahli strategi Tiongkok yang terkenal. Ia adalah ahli strategi bagi Liu Bei. Ia bernama lengkap Zhuge Kongming, juga dikenal sebagai Cukat Liang di kalangan Tionghoa Indonesia.
Ia mengikuti Liu Bei setelah Liu Bei dan kedua adik angkatnya membuat tiga kunjungan untuk menjemputnya menjadi ahli strategi negeri Shu. Terharu dengan keikhlasan dan kemurnian hati Liu Bei yang menangis kerana mengenangkan nasib rakyat di zaman peperangan itu, maka ia menghambakan diri kepada Liu Bei. Nasihat pertama yang diberikannya secara pribadi kepada Liu Bei adalah “Longzhong Plan”, yaitu tentang pendirian tiga negara besar di tanah Tiongkok, yaitu Wei, Wu dan Shu. Nasihat pertama Zhuge Liang ini menjadi kenyataan setelah beberapa tahun membantu Liu Bei di dalam peperangan untuk menegakkan dinasti Han yang telah rapuh.
Kebesarannya menyebabkan ia digelari salah satu dari 6 perdana menteri terbesar dalam sejarah Tiongkok.
Zhuge Liang acapkali dilukiskan sedang memakai sebuah jubah dan memegang kipas yang terbuat dari bulu burung bangau.
Kisah Zhuge Liang I
Zhuge Liang adalah ahli strategi militer dari negara Han pada zaman Tiga Negara (220-280 A.D.). Dia adalah ahli strategi yang paling cerdik dan terkenal dalam sejarah Tiongkok. Dia acapkali dilukiskan sedang memakai sebuah jubah dan memegang kipas yang terbuat dari bulu burung bangau.
Ketika Zhuge Liang berumur 9 tahun, dia masih tidak dapat berbicara. Keluarganya sangat miskin. Ayahnya menyuruh dia menggembalakan domba di dekat sebuah bukit di sebuah gunung. Di atas gunung ada sebuah kuil Pendeta Tao dimana tinggal seorang Pendeta Tao tua dengan kepala penuh dengan uban. Setiap hari Pendeta Tao tersebut berjalan-jalan santai di luar kuil. Ketika ia berjumpa Zhuge Liang, dia mencoba berkomunikasi dengan anak laki-laki tersebut dengan menggunakan isyarat tangan. Zhuge Liang juga senang “berkomunikasi” dengan Pendeta Tao tersebut dengan isyarat tangan. Pendeta Tao itu menjadi sangat menyayangi Zhuge Liang yang pintar dan menawan itu. Dia mulai mengobati masalah kebisuan anak laki-laki itu. Tidak lama kemudian Zhuge Liang bisa berbicara!
Zhuge Liang sangat gembira ketika akhirnya dia bisa bicara. Dia pergi mendaki menuju ke kuil Pendeta Tao tersebut untuk mengucapkan terima kasih. Pendeta Tao tersebut memberitahukannya, “Ketika kau pulang ke rumah, katakan pada orang tuamu bahwa saya mengangkatmu sebagai murid dan saya akan mengajari kamu membaca. Saya juga akan mengajarimu seni astronomi, geografi dan menerapkan teori Ying dan Yang di dalam strategi militer. Jika orang tuamu setuju, kamu harus hadir di sekolah setiap hari dan kamu tidak boleh membolos!”
Sejak saat itu, Zhuge Liang menjadi murid Pendeta Tao tua tersebut. Hujan atau terang, Zhuge Liang akan mendaki gunung untuk menerima pelajarannya. Dia adalah seorang anak yang sangat pintar dan rajin yang sangat serius dalam pelajarannya. Dia juga mempunyai daya ingat yang sangat tajam. Pendeta Tao tersebut tidak pernah harus mengajari segala sesuatunya sampai dua kali. Dengan sendirinya Pendeta Tao tersebut menjadi semakin menyayanginya.
Delapan tahun berlalu dengan cepatnya dan Zhuge Liang menjadi seorang remaja.
Suatu hari ketika Zhuge Liang seperti biasanya turun gunung, dia melewati sebuah biara yang telah ditinggalkan, terletak di tengah-tengah gunung. Tiba-tiba datang hembusan angin yang sangat kuat, diikuti dengan badai petir. Zhuge Liang tiada pilihan lain selain berlari masuk ke biara yang telah ditinggalkan itu untuk menghindari badai. Di sana ada seorang wanita muda yang belum pernah dijumpai keluar untuk bertemu dengannya. Dia memiliki sepasang mata yang besar dan alis yang tipis. Dia begitu cantiknya sampai-sampai Zhuge Liang hampir salah mengiranya adalah seorang dewi. Dia segera tertarik dengan wanita muda tersebut.
Ketika badai berhenti, wanita cantik itu menemui dia di depan pintu dan berkata padanya dengan tersenyum, ”Karena sekarang kita sudah saling berjumpa. Kamu bebas untuk mampir dan menikmati secangkir teh kapanpun kau ingin beristirahat dalam perjalananmu turun atau naik ke gunung.” Begitu Zhuge Liang berjalan keluar dari biara itu, dia merasa curiga. “Mengapa saya tidak mengetahui ada orang yang tinggal di biara ini sebelumnya?” pikirnya.
Sejak hari itu, Zhuge Liang mulai sering mengunjungi biara tersebut. Setiap kali wanita cantik itu selalu menghiburnya dengan ramah tamah. Dia memasak makanan yang enak untuknya dan selalu membujuknya untuk tinggal lebih lama. Setelah makan malam mereka selalu berbincang-bincang dengan seru dan bermain catur. Dibandingkan dengan kuil Pendeta Tao, biara tersebut bagaikan surga.
Selalu memikirkan wanita itu mengalihkan perhatiannya dari pendidikannya dan dia mulai kehilangan semangat untuk belajar. Dia semakin lama semakin kurang perhatiannya terhadap ajaran dari Pendeta Tao. Dia juga menjadi pelupa dan mengalami kesulitan dalam mempelajari buku pelajaran baru.
Pendeta Tao tua itu menemukan masalahnya. Suatu hari dia memanggil Zhuge Liang dan menarik napas panjang. “Lebih mudah menghancurkan sebuah pohon daripada menanam sebuah pohon!” ujarnya. “Saya telah menyia-nyiakan banyak tahun untuk kamu!”
Zhuge Liang menundukan kepalanya karena malu dan berkata, “Guru, saya tidak akan mengecewakan anda lagi atau menyia-nyiakan ajaran anda!”
“Saya tidak mempercaimu,” kata Pendeta Tao tua. “Saya tahu kamu adalah seorang anak yang sangat cerdas, karena itu saya ingin mengobati penyakitmu dan memberimu sebuah pendidikan yang layak. Delapan tahun terakhir ini kamu telah sangat dalam pendidikanmu, jadi saya berpikir bahwa kerja keras untuk mendidikmu adalah pantas. Tetapi sekarang kamu melalaikan pendidikanmu. Bagaimanapun pandainya kamu, kamu tidak dapat kemana-mana jika kamu terus-menerus seperti ini! Sekarang kamu berjanji padaku untuk tidak akan pernah lagi mengecewakan aku. Bagaimana saya dapat mempercayai kata-katamu?”
Pendeta Tao tua melanjutkan, “Semua ada penyebabnya.” Kemudian dia menunjuk ke sebatang pohon yang terbungkus oleh banyak tumbuhan merambat yang tebal di halaman. “Lihat pohon itu,” katanya. “Mengapa kamu pikir pohon itu setengah hidup dan sedang berjuang dalam setiap pertumbuhannya?”
“Tanaman merambat yang melilit pohon menghalangi pertumbuhannya!” jawab Zhuge Liang.
“Tepat sekali! Pohon ini mengalami kesulitan untuk tumbuh di gunung cadas dengan tanah yang sedikit ini. Tetapi dia tetap tumbuh karena dia teguh untuk mengembangkan akar dan cabangnya. Dia tidak takut udara panas maupun dingin. Tetapi, ketika tanaman merambat membungkusnya, dia tidak dapat tumbuh lebih tinggi lagi. Lucukan bagaimana tanaman merambat yang lembut itu bisa mengalahkan pohon yang tinggi dan tegap itu!”
Zhuge Liang sangat pintar, jadi dia segera memahami apa yang dimaksud oleh Gurunya. Dia bertanya, “Guru, anda mengetahui kunjungan saya ke biara itu”
Pendeta Tao tua berkata, “Hidup di dekat air, seseorang akan mempelajari sifat alami ikan. Hidup di gunung, seseorang akan mempelajari bahasa burung. Saya telah mengamati kamu dan tingkah lakumu. Bagaimana mungkin hubungan asmaramu luput dari perhatianku?”
Dia berhenti sebentar sebelum memberitahukan muridnya dengan tatapan yang serius, “Biar kuberitahu kamu kebenaran mengenai wanita cantik itu. Dia bukan manusia. Dia adalah burung bangau dewa di surga. Dia telah diusir keluar dari istana langit sebagai hukuman karena telah mencuri dan memakan buah persik Ratu Langit. Dia datang ke dunia manusia dan menjelma menjadi seorang wanita cantik. Dia adalah bangau dewa yang telah rusak moralnya yang tahunya hanya mencari kesenangan. Kamu telah terpedaya oleh penampilannya, kamu telah menyia-nyiakan tidak hanya waktumu saja. Jika kamu membiarkan dirimu kehilangan kemauanmu, kamu akan kehilangan segalanya! Selain itu, jika kamu tidak menuruti kehendaknya, akhirnya dia akan menyakitimu.
Sampai waktu itu Zhuge Liang baru menyadari keseriusan dari petualangannya. Dengan cemas dia meminta gurunya cara mengatasinya.
Pendeta Tao tua berkata, “Bangau dewa tersebut mempunyai kebiasaan pada tengah malam menjelma kembali ke bentuk semulanya dan terbang ke sungai langit untuk mandi. Ketika dia menjauhi biara, kamu harus masuk ke kamarnya dan bakar jubahnya. Dia mencuri jubah tersebut dari Istana Langit. Tanpa jubah, dia tidak akan dapat menjelma menjadi seorang wanita cantik.
Zhuge Liang berjanji untuk mengikuti instruksi Gurunya. Sebelum ia pergi, Gurunya memberikan sebuah tongkat dengan ukiran kepala naga di ujung atasnya. Dia memberitahu Zhuge Liang, “Ketika bangau dewa tersebut mengetahui kebakaran di dalam biara, dia akan segera terbang kembali dari sungai langit. Dia akan menyadari bahwa kamu telah membakar jubahnya dan akan menyerang kamu. Ketika itu terjadi, kau harus memukulnya dengan tongkat ini! Sangatlah penting untuk kau ingat dan mengerjakan apa yang telah aku beritahukan kepadamu!”
Tengah malam, diam-diam Zhuge Liang pergi ke biara tersebut. Dia membuka kamar wanita itu dan menemukan jubahnya di atas ranjang. Dia segera membakar jubah tersebut.
Ketika bangau dewa sedang mandi di sungai langit, tiba-tiba dia merasa jantungnya sakit. Dia melihat ke arah biara dan melihat api. Dia segera terbang ke bawah dan melihat Zhuge Liang telah membakar jubahnya. Dia menghampiri Zhuge Liang dan berusaha menyerang matanya dengan paruh. Zhuge Liang mempunyai reflek yang cepat. Dia mengangkat tongkatnya dan memukul jatuh bangau dewa. Kemudian dia menangkap ekor bangau itu. Bangau dewa itu memberontak dan berhasil meloloskan diri, tetapi dia kehilangan bulu ekornya pada Zhuge Liang.
Dia menjadi seekor bangau dengan ekor botak. Dia menjadi malu dengan penampilannya, sehingga dia berhenti mandi di sungai langit. Dia juga tidak berani memasuki Istana Langit untuk mencuri jubah lagi, jadi dia tidak punya pilihan lain selain tetap tinggal di dunia manusia selamanya dan hidup diantara bangau biasa.
Untuk mengingatkan dirinya sendiri akan pelajaran ini, Zhuge Liang menyimpan bulu ekor bangau itu.
Sejak hari itu, Zhuge Liang menjadi semakin rajin. Dia akan menghafal semua yang diajarkan oleh Gurunya dan semua buku pelajaran. Dia benar-benar menyerap apa yang telah dipelajarinya dan dapat menerapkannya dengan mudah. Setahun telah lewat. Tepat pada hari ia membakar jubah bangau dewa setahun yang lalu, pendeta Tao tua memberitahukannya dengan sebuah senyuman lebar, “Muridku, kau telah belajar dibawah pengawasanku selama sembilan tahun. Saya telah mengajarimu semua yang harus kau pelajari dan kamu telah mempelajari semua buku pelajaran di sini. Ada sebuah pepatah, “Guru membawamu ke pintu masuk, dan terserah padamu untuk berlatih kultivasi.’ Sekarang kamu berusia 18 tahun. Sudah saatnya kamu meninggalkan rumah dan mengembangkan karirmu!”
Ketika Zhuge Liang mendengar bahwa ia telah menyelesaikan pendidikannya, dia memohon gurunya untuk mengajarinya lagi. “Guru! Semakin banyak saya belajar, saya merasa semakin rendah hati. Saya merasa masih banyak yang harus saya pelajari dari anda!”
“Pendidikan sejati berasal dari kehidupan nyata. Kau harus belajar menerapkan pengetahuanmu didalam kehidupan dan merancang pemecahan yang berbeda untuk situasi yang berbeda! Sebagi contoh, kau telah belajar sebuah pelajaran yang penting dari kunjunganmu dengan bangau dewa bahwa seseorang tidak seharusnya tergoda oleh nafsu atau perasaan. Ini adalah pelajaran berguna yang diperoleh dari pengalaman nyata. Dengan hal itu didalam pikiran, kamu tidak akan dibuat binggung oleh permukaan maya dari dunia ini. Berhati-hatilah dalam setiap tindakanmu. Kamu harus melihat segalanya dalam bentuk sejatinya. Ini adalah nasihat perpisahan saya kepadamu! Saya akan meninggalkanmu hari ini.”
“Guru, kemana Anda akan pergi?” dengan heran Zhuge Liang bertanya. “dimana saya dapat menemuimu atau mengunjungimu di kemudian hari?”
“Saya akan keliling dunia dan tidak akan menetap lagi.”
Tiba-tiba Zhuge Liang merasakan air mata yang hangat menetes dari matanya. Dia berkata, “Guru! Sebelum anda pergi, anda harus memberikan aku kesempatan untuk bersujud kepada anda dan berterima kasih kepada anda atas pendidikan yang anda berikan padaku!”
Kemudia Zhuge Liang bersujud kepada Gurunya. Ketika dia berdiri, Pendeta Tao tersebut telah menghilang.
Pendeta Tao itu meninggalkannya sebuah jubah dengan gambar patkwa. Zhuge Liang sering memikirkan Gurunya; karena itu, ia sering memakai jubah dengan gambar patkwa sebab memberikannya perasaan bahwa Gurunya berada di sampingnya.
Zhuge Liang tidak pernah lupa nasihat Gurunya, terutama nasihat perpisahannya. Dia membuat kipas dari bulu ekor bangau dewa untuk mengingatkan dirinya sendiri untuk sangat berhati-hati seumur hidupnya. Ini adalah cerita dibalik kipas bulu terkenal yang dibawa oleh Zhuge Liang.
Kisah Zhuge Liang II
Seorang ahli strategi. Dikenal juga sebagai Kongming dan mempunyai julukan “Naga Tidur”. Zhuge Liang hidup tenang dan damai di Longzhong sampai saat Liu Bei berhasil menemuinya pada kunjungan ketiga. Terkesan oleh kejujuran Liu Bei dan memiliki kesamaan pandangan untuk mendirikan kerajaan di barat dan pada saat yang sama menjalin kerjasama dengan Kerajaan Wu, Zhuge Liang meninggalkan desanya untuk mengabdi kepada Liu Bei, yang merupakan titik balik bagi Liu Bei. Pada saat itu Zhuge Liang berusia 27 tahun, sedangkan Liu Bei 47 tahun.
Pada mulanya Guan Yu dan Zhang Fei tidak menerima keadaan bahwa mereka diperintah oleh seorang yang masih muda dan berpikir bagaimana mungkin Liu Bei percaya penuh kepada Zhuge Liang yang masih muda dan tidak berpengalaman sehingga memberikan komando tertinggi untuk melawan Xiahou Dun. Namun Zhuge Liang dapat menunjukkan strategi yang hebat dan mengetahui arah gerak musuh yang menghasilkan kemenangan mutlak atas Cao Cao pada tugas pertamanya dan membuktikan bahwa penilaian Guan Yu dan Zhang Fei salah.
Hanya saja serangan kedua dari Cao Cao terlalu tangguh untuk membuktikan kepandaian Zhuge Liang sehingga Liu Bei membawa penduduk Xinye mengungsi ke Xiangyang, namun dikejar oleh Liu Cong. Tidak memiliki pilihan, Zhuge Liang memimpin sejumlah kecil pasukan ke Jiangxia untuk meminta bantuan dari Liu Qi. Demi menjamin keselamatan Liu Bei atas serangan Cao Cao, Zhuge Liang menuju Kerajaan Wu membujuk Sun Quan untuk mengajak kerjasama dan melawan Cao Cao bersama-sama. Tentara Liu Bei dan Sun Quan dapat menghalau tentara Cao Cao, dan Liu Bei berhasil menguasai Jingzhou selama perang berlangsung.
Memiliki ide yang sama dengan Pang Tong bahwa Jingzhou tidak dapat dipertahankan untuk waktu lama, Zhuge Liang memilih tetap berada di Jingzhou sementara Liu Bei bersama Huang Zhong, Wei Yan, Pang Tong dan Guan Ping menuju ke Xichuan.
Sayangnya kematian Pang Tong dan Liu Bei yang terjebak di Xichuan tidak memberikan pilihan bagi Zhuge Liang kecuali memimpin tentara ke Xichuan untuk menyelamatkan Liu Bei dan menguasai Xichuan.
Pada saat setelah Liu Bei meninggal dunia, Zhuge Liang berhasil menghalau tujuh serangan yang dilancarkan Cao Pi. Dengan adanya Zhuge Liang, Kerajaan Shu menjadi lebih makmur dan memiliki tentara yang lebih perkasa. Zhuge Liang berhasil memadamkan pemberontakan yang dilakukan oleh Meng Huo di bagian selatan Kerajaan Shu dan memimpin enam operasi melawan Kerajaan Wei untuk memenuhi keinginan Liu Bei demi mengembalikan kejayaan Dinasti Han.
Musuh utama Zhuge Liang adalah Sima Yi. Jika bukan karena Sima Yi, Zhuge Liang tentunya sudah berhasil menguasai Luoyang dan memenuhi keinginan Liu Bei untuk mengembalikan kejayaan Dinasti Han. Zhuge Liang yang bekerja terlalu keras dan penuh tekanan membawa dirinya sakit pada operasi penyerangan ke enam. Zhuge Liang meninggal dunia di Wuzhangyuan namun sebelum meninggal dia memilih Jiang Wei sebagai penerus. Kematian Zhuge Liang membawa kerugian besar bagi Kerajaan Shu
Tokoh2 penting lainnya dlm masterpiece “Romance of the Three Kingdom”
Liu Bei
Liu Bei (Hanzi: 劉備) (161-223) adalah seorang tokoh terkenal di Zaman Tiga Negara. Ia lahir di Kabupaten Zhuo (sekarang di wilayah provinsi Hebei), merupakan keturunan dari Liu Sheng, Raja Jing di Zhongshan yang merupakan anak dari Kaisar Han Jingdi. Dihitung-hitung, ia masih paman dari Kaisar Han Xiandi yang memerintah waktu itu. Ia bernama lengkap Liu Xuande. Ia juga dikenal di kalangan Tionghoa Indonesia dengan nama Lau Pi.
Karir politiknya dimulai dengan pemadaman Pemberontakan Serban Kuning di akhir zaman Dinasti Han yang mengancam legitimasi dinasti tersebut bersama dengan 2 saudara angkatnya, Guan Yu dan Zhang Fei. Setelah berjasa atas pemadaman pemberontakan tadi, ia diberikan jabatan kecil sebagai penjabat bupati di sebuah kabupaten kecil di daerah Anxi.
Pada awalnya, karir politiknya sangat tidak mulus. Tidak punya wilayah sendiri untuk menyusun kekuatan, ia bahkan sempat mencari perlindungan dan menjadi bawahan daripada kekuatan-kekuatan lainnya di masa tersebut misalnya Tao Qian, Yuan Shao, Lu Bu, Cao Cao, Liu Biao dan terakhir Liu Zhang yang kemudian menyerahkan Prefektur Yizhou kepadanya sebagai tempat menyusun kekuatan.
Keberhasilannya di kemudian hari adalah karena muncul orang-orang di sekelilingnya yang membantu dalam banyak hal, seperti Zhuge Liang dan Pang Tong di bidang sipil, strategi dan politik; Guan Yu, Zhang Fei, Ma Chao, Huang Zhong dan Zhao Yun di bidang militer.
Setelah menguasai Prefektur Yizhou dan Hanzhong, ia kemudian memaklumatkan diri sebagai Raja Hanzhong. Tahun 221, setahun setelah Cao Pi memaklumatkan diri sebagai kaisar, Liu Bei juga memaklumatkan diri sebagai Kaisar Han Liedi, mendirikan Negara Shu Han yang mengklaim legitimasi sebagai penerus Dinasti Han yang resmi telah tidak ada setelah proklamasi Negara Cao Wei.
Sepeninggalnya, ia digantikan oleh anaknya Liu Chan yang tidak cakap memerintah. Seluruh urusan pemerintahan pada saat itu dibebankan kepada Zhuge Liang sebagai perdana menteri.
Cao Cao
Cao Cao (Hanzi: 曹操)(155-220) merupakan seorang tokoh Zaman Tiga Negara yang terkenal. Ia dikenal sebagai pemikir ulung, ahli strategi dan juga ahli perang. Ia bernama lengkap Cao Mengde, juga dipanggil sebagai Cao A Man yang merupakan nama kecilnya. Cao Cao dikenal di kalangan Tionghoa Indonesia sebagai Tsao-tsao, Tso-tso atau Cho Cho.
Ia lahir di kota Qiao (sekarang di wilayah provinsi Anhui). Karir politiknya dimulai dengan ikut memadamkan Pemberontakan Serban Kuning yang mengancam legitimasi Dinasti Han di masa-masa akhir dinasti tersebut. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan tersebut, ia diberikan jabatan dan kemudian mengambil kesempatan tersebut untuk menguasai Prefektur Qingzhou. Ia kemudian memperkuat diri sendiri dengan membujuk bekas anggota pemberontak Serban Kuning untuk bergabung di dalam tentara pribadinya.
Tahun 196, ia menerima dan memberikan perlindungan kepada Kaisar Han Xiandi yang pada saat itu mendapat ancaman. Namun kemudian malah menyandera kaisar dan meminjam kesempatan ini untuk menaklukkan beberapa jenderal perang di sekitar wilayah Xuchang yang merupakan pusat kekuatannya.
Kemenangan terbesarnya adalah Pertempuran Guandu menaklukkan Yuan Shao yang pada saat itu merupakan jenderal perang terbesar di wilayah utara Tiongkok. Setelah penaklukan itu, ia resmi menjadi perdana menteri dan berhasil mempersatukan Tiongkok utara.
Setelah menggapai kedudukan sebagai perdana menteri, Cao Cao kemudian menyusun kekuatan untuk invasi ke Tiongkok selatan yang waktu itu dikuasai oleh Liu Bei dan Sun Quan. Pertempuran Chibi adalah pertempuran di antara Cao Cao melawan aliansi Liu Bei dan Sun Quan. Cao Cao kalah telak dalam peperangan terkenal sepanjang sejarah Tiongkok ini.
Ia memaklumatkan diri sebagai Raja Wei. Sepeninggalnya, anaknya Cao Pi kemudian memaklumatkan diri sebagai Kaisar Wei dan sekaligus berdirinya negara Cao Wei. Selanjutnya, Cao Cao diangkat statusnya menjadi Kaisar Wei Wudi.
Sun Quan
Sun Quan (Hanzi:孫權)(182-252), putera kedua dari Sun Jian adalah pendiri negara Dong Wu (Wu Timur) pada Zaman Tiga Negara di Tiongkok. Dia memerintah sebagai raja Wu dari tahun 220 sampai 222, kemudian naik tahta sebagai kaisar Wu dari tahun 222 sampai 252.
Sun Quan menghabiskan masa kecilnya di kota kelahirannya, Fuchun. Sejak ayahnya (Sun Jian) meninggal pada tahun 191, dia berpindah dari kota ke kota di daerah bawah sungai Yangtze. Kakaknya, Sun Ce mendirikan negara bagian yang terbentuk dari beberapa daerah kecil di sekitarnya. Pada tahun 200, sejak Sun Ce terbunuh, Sun Quan yang baru berumur 18 tahun mewarisi wilayah di daerah tenggara sungai Yangtze. Dalam pemerintahannya yang cukup aman dan stabil, Sun Quan dibantu oleh beberapa bekas pejabat Sun Ce, seperti Zhou Yu,Zhang Zhao,Zhang Hong dan Cheng Pu. Selama beberapa tahun, Sun Quan mampu membangun angkatan perang yang kuat dengan bantuan para perwiranya sehingga pada tahun 207, pasukannya mampu mengalahkan Huang Zu, perwira dari Liu Biao yang menguasai sungai Yangtze bagian tengah.
Pada musim dingin tahun 207, Cao Cao memimpin sekitar 200.000 tentara untuk menguasai wilayah Selatan sebagai bagian dari rencana penyatuan seluruh Tiongkok. Di satu pihak, Zhang Zhao sebagai penasehat urusan dalam negeri Wu menyarankan untuk menyerah, sedangkan di lain pihak, Zhou Yu dan Lu Su menyarankan untuk melawan. Akhirnya Sun Quan memilih untuk mengusung bendera perang. Bersama Liu Bei yang saat itu berstatus pengungsi di negerinya, Sun Quan menggabungkan 2 ahli strategi terbesar, Zhuge Liang dan Zhou Yu, dibantu oleh siasat jebakan Huang Gai, Kan Ze dan Pang Tong untuk menghancurkan seluruh bala tentara Cao Cao pada Pertempuran Chibi.